Monday, April 11, 2005

Balasan yang tak setimpal


Sebuah kisah yang menarik mengenai kasih baru saja kudengar. Sungguh terharu rasanya hati ini. Ingin sekali ku bagi dengan seluruh pembaca kali ini.

Tema kali ini yang diangkat memang masih seputar kasih, tapi bukan kasih eros, atau kasih dengan pasangan kita, melainkan kasih yang benar-benar kasih.

Tuhan mengajarkan kepada kita, “Kasihilah sesamamu manusia, seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.” “Kasihilah musuhmu, sebab jikalau engkau hanya mengasihi orang yang mengasihi engkau, apalah upahmu?”

Tetapi mengapa masih banyak permusuhan yang terjadi? Mengapa sampai sekarang masih banyak terjadi pembunuhan? Apakah kita sebagai manusia gagal menerapkah kasih tersebut, dan ajaran yang diajarkan oleh-Nya?

Sebelum kuceritakan kisah tersebut, ada cerita lain yang ingin kusisipkan. Sebuah poster di sebuah rumah makan, yang mengatakan kurang lebih demikian. “Mengapa pelanggan kami tidak kembali ke rumah makan kami? 3% karena mereka meninggal, 4% karena mereka pindah rumah, 5% karena kami pindah lokasi, 7% karena kualitas masakan kami kurang memuaskan, dan sisanya 81% karena pelayanan kami yang kurang memuaskan.” Apa artinya? Mengapa pelayanan rumah makan tersebut kurang memuaskan? Umumnya kalo penjual bertemu dengan pelanggan yang baik, yang murah memberikan tip, pelayanan penjual tersebut tentu akan dengan mudah baik, ramah, dan menyenangkan. Tetapi bagaimana jika pelanggan yang datang sedang mengalami masalah, datang dengan tampang yang ditekuk 12, habis perang dengan keluarga misalnya, atau baru saja dipecat dari pekerjaannya. Pastilah pelanggan tersebut memikirkan masalah dirinya, sehingga mungkin terlihat tampang yang tidak menyenangkan, atau mungkin marah-marah sendiri. Nah disinilah terjadinya pelayanan yang tidak menyenangkan. Pelanggan happy, pelayanan ikut menyenangkan sehingga pelanggan tambah happy, dan Pelanggan tidak happy, pelayanan terimbas tidak menyenangkan sehingga pelanggan tambah kesal, dan tidak akan pernah lagi kembali ke rumah makan tersebut.

Kutipan lain yang ku ambil sebagai contoh kebalikannya adalah sebagai berikut. “Saat itu pukul 17.00 lebih sedikit, dan hotel sibuk mendaftar tamu-tamu baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja dengan nada memerintah. Pegawai tersebut berkata, ‘Ya Tuan, kami sediakan satu kamar single untuk Anda.’ ‘Single,’ bentak orang itu. ‘Saya memesan double.’ Pegawai tersebut berkata dengan sopan, ‘Coba saya periksa sebentara.’ Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, ‘Maaf, Tuan. Telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda di kamar double, kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.’ Tamu yang berang itu berkata, ‘Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double.’ Kemudian ia mulai bersikap ‘anda-tahu-siapa-saya,’ diikuti dengan ‘Saya akan usahakan agar Anda dipecat. Anda lihat nanti. Saya akan buat Anda dipecat.’ Di bawah serangan gencar, pegamai muda tersebut menyela, ‘Tuan, kami menyesal sekali, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda.’ Akhirnya sang tamu yang benar-benar marah itu berkata, ‘Saya tidak akan mau tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang – manajemennya benar-benar buruk,’ dan ia pun keluar. Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti marah setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya, ia menyambut saya dengan salam yang ramah sekali ‘Selamat malam, Tuan.’ Ketika ia mengerjakan rutin yang biasa dalam mengatur kamar untuk saya, saya berkata kepadanya, ‘Saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar-benar sabar.’ ‘Ya, Tuan,’ katanya, ‘Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang yang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan ini adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.’”

Cukup unik, kutipannya bukan? Pelanggan tersebut mungkin marah karena alasan yang diluar pelayanan hotel tersebut. Dan yang luar biasa hotel tersebut menerapkan pelayanan yang sangat luar biasa. Jika melibatkan unsur emosi, wajar saja jika pegawai tersebut membalas dengan marah, karena memang yang salah adalah pelanggan tersebut. Tetapi yang dilakukan malah sebaliknya, pegawai tersebut bersikap tenang dan sabar, serta memberikan pelayanan seperti seharusnya.

Secara umum, wajar sekali jika tindakan kita terkadang dikendalikan oleh emosi kita, atau yang lebih dikenal dengan bersikap reaktif terhadap lingkungan. Steven R. Covey, penulis buku 7 habits of highly effective people mengatakan, be proactive, not reactive. Create your own surrounding, so it impact positively to ur emotion and your action. Nah sikap proactive dan reactive, mungkin ada baiknya jika dibahas lain kali.

Ok, kembali ke inti kali ini, balasan yang tak setimpal. Apa sih hubungannya kasih dengan balasan yang tak setimpal? Sering kali kita dikasihi melebihi dari kasih yang seharusnya kita dapat, dan sayangnya kita membalas dengan tidak sepantasnya. Sering juga kita melakukan dosa, atau kesalahan yang seharusnya di hukum lebih berat daripada apa yang kita terima, dan kita mengasihi orang yang memperingan hukuman kita dengan kasih yang tidak sepantasnya.

Cinta seorang ibu kepada anaknya sering kali jauh lebih besar daripada cinta si anak kepada ibunya. Terkadang untuk kesalahan yang berat yang seharusnya mendapatkan hukuman keras, sang ibu memberikan hukuman yang tidak sepantasnya karena terlalu mengasihi anaknya. Nah inilah cerita yang ku dengar sore hari tadi. “Di sebuah keluarga yang tidak terlalu mapan, hiduplah keluarga kecil dengan 3 orang anak, sepasang suami istri, dan ibu dari sang suami yang sudah tua renta dan sakit-sakitan. Oleh karena seringnya sakit-sakitan, dan tingginya biaya perawatan sang ibu. Akhirnya si anak yang merasa kesal dan tidak mampu mengambil sebuah keputusan, yaitu membuang ibunya di tengah hutan. Dengan gagah perkasa, di gendongnya sang ibu di punggungnya, kemudian memasukki hutan belantara. Setiap jarak 100 meter, sang ibu selalu berusaha membuat tanda di pohon-pohon yang dilewati. Karena kesal dengan ulah ibunya, yang berusaha membuat jalan untuk kembali ke rumah. Si anak berkata dengan kasar, ‘Sudahlah bu, gak usah buat tanda-tanda seperti itu. Saya akan membuang ibu jauh sekali di tengah hutan, sehingga dengan kondisi ibu sekarang, tak akan mungkin ibu bisa kembali ke rumah, karena ibu tak akan mungkin kuat berjalan sejauh itu.’ Cetus si anak. ‘Ibu tau nak… Ibu membuat tanda ini bukan karena ibu ingin kembali ke rumah mu, ibu tau kondisi ibu juga tidak akan memungkinkan untuk kembali ke rumahmu. ‘Tanda-tanda yang ibu buat sepanjang jalan ini, bukan untuk ibu nak, melainkan untuk dirimu, supaya setelah engkau meletakkan ibu nanti, engkau bisa pulang dengan selamat kepada istri dan anak-anakmu di rumah.’”

Itulah balasan yang tak setimpal yang didapatkan oleh sang ibu. Namun demikian kasih sang ibu demikian besarnya kepada sang anak, bahkan untuk kondisi seperti di cerita tadi pun, sang ibu masih memikirkan anaknya, supaya dia dapat kembali kepada istri dan anaknya. Marilah kita mengoreksi diri, apakah kita mengasihi orang tua kita seperti orang tua kita mengasihi kita? Saya pribadi masih merasakan kasih yang ku berikan kepada orang tua ku tidak seperti kasih yang mereka berikan kepada ku.

Biarlah menjadi renungan kita bersama, “Apakah aku sudah memberikan kasih yang setimpal?”

No comments: